Kamis, 03 November 2011

TRANSPORTASI

Oleh : Manik Priandani
Bontang


Semakin maju jaman, semakin modern juga alat transportasi yang dipakai. Betapa konvensionalnya alat transportasi jaman dahulu. Sultan Agung berkuda dari Yogyakarta menuju Batavia (Jayakarta) untuk menaklukkan VOC Belanda. Pangeran Diponegoro, Gajahmada, Hayam Wuruk, Ken Arok, dsb-nya juga berkuda. Beda lagi mas Karebet yang memanfaatkan sungai Bengawan Solo dan naik gethek bahkan konon naik di punggung buaya saat menuju Kerajaan Demak dari desanya di pedalaman Boyolali. Kalau Sultan Mulawarman dari Tenggarong naik perahu kebesaran melewati Sungai Mahakam untuk bertandang ke Kerajan-kerajaan tetangga. Sedangkan anak-anak jaman sekarang menaiki sepeda motor dengan berbagai merk dan kelebihannya. Ada yang kencang sekali hingga pengendaranya merubuhkan pondok-pondok dan memporakporandakan acara pesta kampung dengan rambut di kepala yang ikutan berdiri jabrik atau body-nya yang cantik, secantik pengendaranya...begitu yang terlihat di iklan-iklan TV.

Lain dulu lain sekarang. Semakin tua usia bumi perubahan terus berlangsung. Kendaraan kayu (khayalan)-nya Flinstone sudah berubah menjadi mobil besi. Layang-layang kertasnya Archimedes sudah menjadi burung besi. Namun dari semua peralatan transportasi yang berubah dari jaman ke jaman, jalan kaki adalah suatu alat transportasi paling alamiah sejak jaman purba yang terus dipakai oleh keturunan Pithecanthropus erectus (dan juga termasuk berjalan cepat, berlari, dsb-nya yang merupakan differensial integral dari berjalan). Semua manusia pernah merasakan berjalan kaki. Ada yang bisa berjalan cepat, ada yang jalannya hanya ”thimik-thimik” (jw. pelan sekali), seperti para priyayi, Permaisuri maupun Selir Kaisar China jaman dulu yang berkaki kecil karena diikat dengan sepatu besi.

Kaki adalah alat transportasi utamaku sejak kecil. Di tahun 1970-an aku selalu berjalan kaki pulang pergi ke dan dari sekolah. Entah sekolahku dekat atau jauh (karena selama 6 tahun di SD, aku sudah berpindah sekolah 3 kali). Jalan kaki ini aku nikmati dengan senang hati, karena jalanan saat itu tidak begitu ramai. Di sepanjang jalan Siliwangi, Semarang, masih ditumbuhi pohon asam gedhe-gedhe dan rimbun, dan pohon ini menjadi ciri khas kota Semarang sejak jaman kolonial dulu. Konon dari pohon Asam yang sangat banyak di daerah ini nama kota Semarang berasal. Dari frasa Asam Arang (maksudnya pohon asam-nya jarang-jarang), dan aku sangat percaya bahwa itulah frasa yang tepat untuk nama Semarang, bukan dari frasa kata Eseme Arang-arang (Jw. Tidak suka tersenyum / galak/cemberut terus) yang mempunyai konotasi yang sangat tidak menarik bagi karakter penduduk yang tinggal di Semarang. Jalan kaki saat itu menjadi menarik karena saat lelah, aku bisa duduk sebentar di bawah pohon asam, sambil menunggu asam masak jatuh, atau melihat-lihat adakah asam yang bisa kita ”jatuhkan” dengan cara melemparnya dengan batu. Kalau lemparan tepat, segerombolan asam akan jatuh, dan bisa kita nikmati rasa kecutnya sebagai penawar dahaga.

Selain itu, ada transportasi yang menarik dan sering aku dan Kakakku tumpangi, paling tidak dari jalan raya dekat sekolah sampai jalan raya dekat gang masuk rumah kami; dengan ijin maupun tanpa ijin pengemudinya...yaitu Gerobak Sapi. Menaiki Gerobak Sapi yang sedang berjalan ada tekniknya tersendiri. Aku sempat ragu-ragu dan takut saat pertama kalinya harus naik Gerobak yang ditarik oleh Sapi ini. Kakakku sudah naik di sebelah kanan plang paling belakang Gerobak, sementara aku diminta naik ke plang yang ada di sebelah kiri. Wow...bagaiamna caranya. Akhirnya Kakakku turun lagi dan mengajariku bagaimana cara menaikinya.

Pertama kita pegang plang di belakang Gerobak Sapi, dan harus mengikuti irama berjalannya Sang Gerobak (artinya irama berjalannya Sapi juga), setelah tahu, kita bisa memperkirakan kapan saatnya kita ”meloncat” duduk di plang (berupa kayu yang menonjol di kanan kiri bagian belakang Gerobak) tersebut. Beberapa kali gagal, namun akhirnya berhasil juga. Ada Pak pengemudi Gerobak Sapi (Kusir) yang baik hati ada yang galak. Tetapi sebenarnya semuanya baik hati. Kenapa? Karena Pak Kusir akan berhenti kalau mendengar ada anak pengen mbonceng di belakang Gerobaknya dan bahkan mengajak kami duduk di depan atau masuk ke Gerobak; tetapi ada yang langsung membunyikan cemetinya kalau terlihat gelagat ada anak-anak yang ingin mbonceng di belakang Gerobak sambil berteriak :”Turun..turun...nanti kalau jatuh aku dimarahi Bapak Ibumu...”! Hehehe...Artinya Pak Kusir ini peduli dengan keselamatan kami. Bahkan akhirnya Pak Kusir hapal dengan kami, dan beliau menunggu atau menawari kami untuk ikut naik Gerobak bila kami kebetulan bersamaan arah. Gerobak Sapi I miss you....

Becak juga menjadi alat transportasi utama kala itu di Semarang. Bahkan mungkin sampai tahun 80’an. Becak Semarang punya kekhasan tersendiri. Selain tempat duduknya tinggi (bhs Jawanya : ”methingkring”), ukurannya juga lebih lebar dan luas. Dua orang gemuk bisa duduk di dalam becak ini. Berbeda dengan Becak di kota-kota lain seperti becak Surabaya atau becak kota Malang, hanya cukup untuk seorang Bapak yang tidak begitu gemuk dan satu anak yang kurus. Kalau dua orang dewasa duduk, dijamin salah satu harus mengalah untuk duduk tidak nyaman karena harus duduk maju ke depan.

Kalau bicara soal Becak, aku jadi ingat tertabrak becak saat aku menyeberang di depan Tripayung untuk pulang ke rumah. Mungkin karena siang itu sangat terik,lapar campur ngantuk, aku tidak melihat becak yang berjalan ”ngebut” dari arah kiri bermuatan pedagang dan belanjaannya...dan grobyakk....aku tertabrak...becak terjungkal alias nyungsep bersama belanjaannya. Sementara pengemudi becak dan penumpangnya meloncat ke samping, sedangkan aku tertabrak dan kaget, dan pingsanlah aku. Saat siuman aku sudah ditidurkan di dalam warung, dikerubungi banyak orang, dan diberikan teh hangat untuk membuatku siuman. Aku malu sekali setelah itu.... aku langsung mengucapkan terima kasih ke pemilik warung dan segera lari pulang...selain malu juga takut dimarahi Ibu karena menyeberang tidak hati-hati. (Dan sebenarnya Ibu tahu karena ada keramaian di Pasar (Karang Ayu) saat Ibu berbelanja. Orang-orang membicarakan tertabraknya anak sekolah yang punya ciri-ciri seperti aku : Anak perempuan sekitar kelas 3 SD, pakai seragam putih-putih, dikuncir dua, memakai pita merah jambu...masyaallah itu mungkin anakku!”, begitu kata Ibu).

Bemo-pun alat transportasi yang populer jaman itu. ”Daihatsu” (sebutan untuk semua angkot di Semarang, walau mungkin merk-nya Toyota, Yamaha, Suzuki, dsb-nya) belum populer. Setelah Daihatsu semakin marak, Bemo-pun pelan-pelan hilang di jalanan Semarang. Kemudian masuk era biskota. Baik biskota biasa maupun biskota tingkat. Biskota milik PO DAMRI ini buatan India asli yang ber-merk TATA. (Merk ini sudah tidak populer di Indonesia, namun sangat populer di jalanan Nepal...hingga terasa bernostalgia saat melihat bentuk biskota (dan juga bemo) di jalanan Kathmandu dan sekitarnya). Biskota dan biskota tingkat adalah alat transportasi yang nyaman, yang melewati sekolah SMP maupun SMA-ku di Jalan Pemuda kala itu. Jadi hanya menunggu duduk di pagar luar sekolah, biskota akan lewat, dan kami bebas memilih...mau naik sekarang atau nunggu kosong asal siap untuk kesiangan atau kesorean sampai di rumah. Bahkan sampai aku mahasiswa, Biskota ini masih membantuku untuk mencapai kampus. Betapa berperannya biskota pada keberhasilanku menyelesaikan sekolah.

Alat transportasi yang lain adalah Kereta Api. Yang aku ingat dengan Kereta Api : kursinya yang terbuat dari rotan, jendela buram serta tempat minuman yang menempel di dinding di bawah jendela. Penjual-penjual nasi, telur, dan belibis goreng berseliweran bila KA berhenti di suatu stasiun. Maklum aku lebih sering naik KA seperti ini, walau di era tahun 2000-an, saat aku mengambil pasca sarjana di suatu institut negeri di Bandung, tampilan KA terlihat agak lebih baik. Setidak-tidaknya hampir dua minggu sekali aku dan gadis kecilku bolak-balik Bandung-Jakarta naik KA Parahyangan, untuk liburan Sabtu-Minggu. Yang paling seru kalau menjelang hari Raya, pasti Kereta Api ini penuh. Untuk mendapatkan tempat duduk, aku pernah minta bantuan calo untuk mencarikan kursi untuk kami. Caranya : Anakku dibopong dan digendong si Calo, dimasukkan ke kereta lewat jendela, dan ditangkap oleh calo yang sudah siap di dalam kereta, di tempat duduk yang akan aku duduki! Itulah wajah KA di tahun 2000. Sampai saat ini rasanya masalah KA masih seru saja.

Setelah bekerja, alat transportasi yang menghubungkan aku dengan tanah kelahiranku lebih beragam. Istilahnya bisa masuk katagori angkatan darat, angkatan laut, atau angkatan udara. Via darat, berarti harus naik kendaraan bus atau mobil, kemudian menaikkan bus atau mobil beserta isinya di atas kapal; via laut, berarti naik kendaraan juga, kemudian naik kapal, kemudian turun di Pelabuhan Semarang atau Surabaya, baru naik kendaraan lagi; atau naik pesawat terbang. Hingga saat ini karena berbagai kondisi yang aku hadapi, terpaksanya aku harus ikhlas untuk selalu via udara (dibantu lewat darat bila pesawat udara dari tempatku ke Balikpapan sudah penuh atau sebab lain). Sekali saja aku naik kapal saat ada dinas yang mengharuskanku menaiki kapal sampai di Gresik. Maklum, tugas dinasku saat itu adalah memonitor system refrigerasi penyimpanan Amoniak di kapal. Memonitor kondisi refrigerant, sambil terhuyung-huyung mabuk laut. Walau sempat mencoba menyetir kapal hingga arah kapal agak melenceng dan juga naik ke puncak tertinggi kapal. Pengalaman naik kapal ini , sampai sekarang belum juga terulang kembali.

Trend pun berputar, seperti berputarnya bumi. Sepeda mulai digandrungi di negeri ini. Orang menjadi merasa ketinggalan dan tidak up to date saat tidak bisa mengatakan aku punya sepeda dan aku kini bersepeda. Bahkan sampai ke jenis sepeda, bentuk, dan aksesorisnya menjadi gengsi tersendiri (belum atribut-atribut yang lainnya : helm, kaos, sepatu, etc). Jauh berbeda dengan saat aku menjadi mahasiswa (tahun 80’an) maupun saat aku sudah bekerja (tahun 90’an); bersepeda belum populer. Aku sempat bersepeda di semester I untuk menuju kampusku yang cukup jauh di Mataram. Karena letak kampusnya yang agak sulit dijangkau biskota, ataupun Daihatsu yang harus berganti-ganti, akhirnya kuputuskan naik sepeda. Aku merasa nyaman bersepeda, selain untuk berhemat juga berolahraga, apalagi aku familiar dengan daerah ini karena lokasi latihan olahragaku tidak jauh dari kampusku ini. Aku tahu jalan pintasnya, sehingga cepat sampai di kampus atau sebaliknya. Kemudian karena kampusku berpindah-pindah dan aku memerlukan mobilitas yang cepat, dan saving energy agar pada saat kuliah tidak kelelahan, dan juga kadang aku pengen pakai rok cantik layaknya perempuan (nggak lucu kalau bersepeda), maka sepeda aku tinggalkan. Hebatnya sekarang sepeda masuk kampus (saat itu tak terbayangkan).

Aku bertemu sepeda lagi setelah aku bekerja di tempat kerjaku sekarang. Pada waktu itu aku tidak punya sepeda motor, apalagi mobil, yang aku punyai adalah sepeda. Aku bersepeda ke mana saja yang memungkinkan aku jangkau. Ke Wartel, ke Pasar, maupun sekedar jalan-jalan eh sepeda-sepeda-an. Aku jadi kangen bersepeda lagi. Sebenarnya bersepeda bukan barang baru. Di negeri maju (Swedia, Denmark, Belanda, etc) bersepeda sudah menjadi kebanggaan dan kebiasaan dari segala kalangan lapisan hingga para eksekutif sejak puluhan tahun lalu.

Begitulah hidup. Hidup terus berputar seiring berputarnya bumi. Dan hal-hal alamiah akan semakin kita hargai. Pemakaian bahan bakar yang berlebih dan membuat polusi bumi yang kita tempati ini semakin menjadi prioritas utama untuk kita hindari.

Kembali ke alam adalah hal mulia dan bukan hal yang memalukan. Modern tidaklah diukur dengan materi semata. Modern adalah berpikiran maju ke depan dan peduli dengan lingkungan sekitar. Peka akan segala hal yang tidak pada tempatnya. Yuk kita peduli dengan lingkungan dan kehidupan kita, antara lain membiasakan berjalan kaki dan bersepeda, alat transportasi yang tak lekang oleh waktu dengan memanfaatkan energi dalam tubuh untuk bergerak; walaupun saatnya nanti memasuki era jet yang terbang ke bulan atau ke Pluto sekalipun. Bisakah?

Bontang, MP, 03 November 2011

Selasa, 01 November 2011

PIKNIK

Oleh : Manik Priandani
Bontang


Piknik adalah salah satu kegiatan jalan-jalan dan menikmati liburan. Tidak harus berbiaya mahal, bagiku yang penting dapat melihat-lihat suasana baru atau melakukan petualangan kecil. Piknik seakan sudah menjadi kewajiban di saat liburan, baik itu liburan sekolah, liburan hari Raya ataupun liburan hari Minggu.

Aku tak tahu, berawal dari mana kesenangan piknik ini berasal. Asal kata piknik dan realisasi yang kami lakukan sangat berbeda dengan asal mula kata picnic itu sendiri. Piknik berasal dari kata bahasa Inggris yang mempunyai arti dan nilai yang sungguh kejam dan kasar yaitu dari frasa "pick a nigger" yang amat sangat rasialis. Menggambarkan habit bersenang-senang manusia kulit putih dengan menyiksa budak belian mereka. Tetapi kemudian makin lama maknanya akan melebur sehingga melembutkannya dan menjadi istilah yang bisa diserap dengan santai (aku adop dari tulisan Helman Taofani’s dalam blog-nya End of Sanity) sebagai kegiatan melepas lelah , bergembira dan berlibur. Piknik juga aku pakai karena istilah ini familiar baik pada saat ini dan jaman Mbah-Mbah kita dulu..

Kapan kami (baca : saya) mulai suka piknik? Mungkin sejak bayi atau bawaan sejak bayi, turunan kata sebagian orang, atau terkondisi bersaudara banyak, maka jalan bersama-sama menjadi kesenangan atau hiburan tersendiri untuk mencari suasana lain dari kehiruk pikukan di rumah (sehingga aku tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya menjadi anak tunggal seperti anakku saat ini) ke suasana / lingkungan yang lebih terbuka. Kesenangan piknik juga didorong oleh Tante dan Oom-ku yang selalu menjemput dan mengajak kami jalan dan melihat tempat-tempat wisata di saat kami liburan sekolah.

Kesenangan ”jalan” menjadikan kami (Aku, Kakak, dan Adik-adikku) lebih kuat dalam menghadapi kondisi apapun. Dalam kondisi suka maupun duka. Hal ini terasa pada saat Aku dan Kakakku ”hilang” alias salah arah, saat ingin pulang ke rumah. Waktu itu kami masih duduk di kelas 2 dan 4 SD dan sehabis menonton pameran di suatu tempat bersama guru dan teman-teman sekolahku; kami punya ide untuk pulang sendiri (aku bertemu Kakakku di pameran tersebut), dan akan mampir ke rumah Nenek untuk membaca komik koleksi Nenekku, baru kemudian pulang ke rumah. Kami perkirakan menyusuri rel akan lebih cepat sampai ke rumah Nenek. Seharusnya rumah Nenekku ke arah Barat, sedangkan kami berjalan menjauh ke arah Timur. Kebingungan ini disebabkan letak rel melintang di belakang tempat pameran. Kami nikmati ”jalan-jalan” kami ini hingga sore hari. Aku sempat bingung kok nggak sampai-sampai. Akhirnya kami-pun tahu bahwa kami ”kesasar”.

Selama di perjalanan itu, kami sempat ngumpet di selokan sewaktu kami ketahuan akan mengambil kelapa (karena kehausan) yang diikat di kereta barang, yang akhirnya tidak kami dapat karena keburu ketahuan...dan alhamdulillahnya kami terhindar dari tindakan mencuri. Hingga akhirnya kaki kami sampai di belakang Gedung yang sangat kami kenal(karena sering mengantar Ibu ke Pasar nJohar)...yaitu Gereja Blenduk. Akhirnya, dari titik itulah kami balik kembali ke arah rumah kami yang letaknya di Semarang Barat (arah Bandara Ahmad Yani). Kami menikmati tragedi "kesasar" dan salah arah ini dengan santai (dan Kakakku sudah bilang ke aku, bahwa kondisi kita baik-baik saja dan nanti pasti sampai ke rumah juga), walau terpikir juga olehku, pasti Ibu kebingungan karena kami belum juga sampai rumah hingga Maghrib , padahal kami berpamitan untuk ke sekolah dan melihat pameran bersama Bapak dan Ibu Guru.

Dan benar saja, Ibu sudah melapor ke RRI Semarang, dan pihak RRI berencana mengumumkan berita kehilangan anak pada jam 19.00 WIB nanti. Kami malah menikmati ”piknik” kami dengan masuk ke galery lukis yang ada di dekat Hotel Dibyapuri dan juga galery-galery seni di sepanjang jalan Pemuda (dan Kakakku girang sekali), karena dari kecil, Mas-ku ini suka sekali menggambar, melukis dan melihat lukisan. Walau kemudian dia tidak berprofesi menjadi Pelukis, namun nyerempet-nyerempet dengan hobby-nya itu...menjadi Arsitek. Aku ingat saat harus duduk bengong kelelahan di bangku yang terbuat dari potongan kayu di sebelah pintu masuk galery, sambil melihat Kakakku yang menikmati lukisan-lukisan yang ditempel di dinding. Sementara penjaga pameran / galery dengan ramah meladeni Kakakku, karena melihat anak kecil yang antusias dengan lukisan.

Piknik yang kami sukai adalah berjalan-jalan ke arah Gunung atau Bukit. Mungkin ini menariknya punya Kakak Laki-laki. Hari libur pasti ada saja kegiatan yang direncanakan oleh Kakakku. Dia suka memancing atau mencari ikan di kolam, sungai, atau semua tempat yang berair, namun karena aku anak perempuan; maka bagi Mas-ku, petualangan ini tidak cocok untukku; adiknya yang perempuan. Akhirnya aku diajak ke bukit-bukit dekat rumah, walau bukit tersebut sebagian besar adalah lokasi pemakaman, namun kami bisa main ke sana, membawa minum dan makanan, sembari mencari jangkrik yang ngumpet di bawah cungkup makam. Ahaiii.....

Piknik ke bukit di sekitar rumah memang menjadi kegiatan yang menyenangkan. Apalagi setelah kami pindah ke ”luar kota”, karena di sanalah rumah sah kami berada. Maksud rumah sah di sini adalah rumah yang benar-benar Bapak beli dan menjadi hak milik, bukan hanya meng-kontrak dan kemudian berpindah-pindah lagi. Kebetulan lokasi rumah kami di kelilingi oleh bukit-bukit kecil yang terlihat sangat indah dari rumah. Rumah kami berada di tengah-tengah padang ilalang (jadi ingat film ”Little House in The Prairie”-nya Laura Ingalls) dan dengan jumlah tetangga yang bisa dihitung dengan jari. Dengan pindah rumah ini kami sangat senang...selain punya rumah sendiri, ada obyek untuk kami ”piknik”-i.

Pagi-pagi kami sudah menyiapkan rebusan ketela, singkong, pisang, dan telur. Juga menyiapkan air putih dan air teh di ”gembos” (tempat minum anak sekolah). Setelah sholat Subuh, kami berlima (adikku yang nomor enam masih belum lahir, masih di perut Ibu yang saat itu sedang hamil besar) berjalan menuju ke bukit. Bukit ini biasa disebut Gunung ’nDobling”. Di bawah bukit ini terdapat ranch kuda milik Pak Presiden Soeharto. Konon Tommy Soeharto kadang mampir ke ranch ini. Kuda-kuda dan kandangnya terlihat kecil dari rumahku. Kami berjalan dengan semangat pantang menyerah. Alhamdulillahnya, kami punya saudara yang sangat baik dan setia kepada Nenekku maupun kedua ortu-ku, sehingga dia-lah yang mengantar kami bila kami jalan-jalan, dan juga pada saat naik ke Gunung nDobling ini. Saat itu aku kelas 5 atau 6 SD, sementara adik-adikku masih TK dan SD.

Kami mendaki terus dan melewati ilalang yang cukup tinggi. Semakin tinggi kami naik, semakin semilir angin berhembus. Rasanya senang sekali, melihat rumah kami terlihat semakin kecil. Kami berteriak-teriak memanggil Ibu yang sedang menyapu di teras. Bagaimana mungkin Ibu kami mendengar. Tetapi Ibu tahu kalau kami sudah naik ke Bukit, dan Ibu-pun melambai-lambaikan tangannya. Senang sekali rasanya. Setengah jam akhirnya kami sampai di Puncak (karena adikku masih kecil-kecil sehingga langkahnya tidak terlalu cepat). Di atas terdapat patung angsa, yang sebelumnya kami tidak tahu bahwa ada patung Angsa di atas bukit. Ranch kuda terlihat melingkari bukit.

Kuda-kuda pacu berlarian dan merumput dan terlihat pegawai penjaga kuda. Ranch tersebut dikelilingi oleh pagar kayu. Kami melepas lelah sambil duduk di cekungan batu di atas, dan menikmati bekal kami ; ketela, singkong, telur dan pisang rebus; dan meminum air yang kami bawa. Andai kami punya tustel atau kamera digital, pasti sudah kami abadikan moment ini. Setelah puas menikmati pemandangan kota Semarang dari atas bukit nDobling, turunlah kami kembali ke rumah. Adikku sempat nyungsep di pinggir pagar ranch, karena terlalu kencang berjalan. Untuk tidak apa-apa.

Petualangan selanjutnya adalah menaiki Bukit yang terletak di dekat Pasar nJrakah, Tugu, Semarang. Aku benar-benar penasaran untuk naik ke sana. Kuajak dua adikku yang perempuan, karena Kakakku sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Dengan cara mencari tahu jalan ke sana ke teman yang rumahnya di sekitaran itu, akhirnya beberapa minggu setelah menaiki Gunung nDobling, kami naik ke Bukit tersebut. Dengan berbekal makanan yang hampir mirip. Rasanya puas sekali bisa naik dan duduk di atas bukit.

Dolan dan piknik selalu ingin aku lakukan. Bila ada waktu luang dan ada keinginan jalan, pasti aku ajak dua adikku perempuanku, walau aku sudah mahasiswa sekalipun. Aku ingat, aku ajak kedua adikku untuk menikmati perjalanan naik bus kota dari ”pojok” ke ”pojok”. Dengan biaya relatif murah (memanfaatkan karcis bus kota untuk pelajar), kami menikmati perjalanan kami dari rumah hingga ke Mangkang (PP). Di Mangkang ini kami sekalian bersilaturahmi ke rumah teman. Dan di teman ini kami disuguhin minuman dan dipersilahkan untuk mengunduh buah kedondong. Selain menjalin silaturahmi,disuguhin, dan balik dapat membawa oleh-oleh kedondong! Piknik (dengan biaya murah meriah) selalu aku usahakan untuk dapat aku lakukan; bahkan saat KKL, Kerja Praktek, KKN, dsb-nya.

Ayo kita ber-piknik. Lihat daerah baru, lihat suasana baru, lihat kehidupan yang berbeda, bersilaturahmi, menambah wawasan, menambah teman, menyegarkan pikiran, dan sekaligus membaca alam, bumi, dan manusia!

Bontang, MP, 01 November 2011

Rabu, 08 Juni 2011

TEMAN DAN SAHABAT

Manik Priandani
Bontang


Berteman adalah kebutuhan yang selalu kita perlukan. Aku tidak dapat membayangkan kalau tidak mempunyai teman. Pasti hidup rasanya sepi. Dan aku pikir semua manusia memerlukan itu, karena Homo homini lopus, homo homini sosius.

Kalau aku baca memang manusia terbagi menjadi beberapa karakter, namun pada dasarnya karena manusia adalah makhluk sosial, seberapapun pendiamnya, seseorang yang mempunyai keseimbangan jiwa dalam tataran normal akan memerlukan teman atau sahabat dalam kehidupan sehari-harinya.

Pasti kita memiliki teman di masa kecil dulu. Teman bermain jualan (jw. pasaran) ataupun teman mencari bunga-bunga kecil merah, teman mencari bungkus permen, teman bermain gundu, mencari jengkerik, bahkan teman untuk berdebat dan berkelahi.

Dari kecil dan mulai dapat mengingat, pasti kita sudah merasa punya teman. Aku ingat, di saat aku belum bersekolah di taman kanak-kanak (mungkin saat itu sudah cukup umur untuk masuk play group, 2 – 3 tahun?), aku punya teman ledek-ledekan ala Semarangan. Aku ingat, setelah aku mandi sore dan berganti baju dan dibenaki coreng moreng (sampai sekarang aku heran mengapa Ibuku suka membedakiku dengan bedak yang nggak rata ya, asal usap saja?), aku akan digendong Ibuku dan didudukkan di kursi yang berada di teras rumah. Teman sebayaku juga berada di posisi yang mirip, namun dia berada di depan rumahnya sendiri. Dan rumah kami memang berhadap-hadapan. Selagi Ibu kami masing-masing mengambilkan makanan untuk kami, kami akan saling ejek dengan saling memonyongkan mulut atau berjoged-joged segenit-genitnya. Walhasil, karena lantai teras rumahku agak bergelombang, akhirnya aku terjunggal jatuh ke lantai, dan seingatku menjadi kecelakaan kecil pertamaku. Kepalaku sempat sobek dan berdarah, yang akhirnya meninggalkan bekas "petak" kecil di kepala (entah waktu itu tergores apa). Hingga aku berumur 5 tahun, si dia menjadi saingan dan sekaligus teman akrabku, karena Ibunya juga teman akrab ibuku.

Setelah masuk TK dan pindah ke kampung yang sedikit lebih jauh dari kampung kami semula, akupun memulai punya komunitas yang lebih beragam. Setidak-tidaknya berbeda jenis. Waktu itu bangku TK kami adalah bangku panjang yang terbuat dari kayu, dan diperkuat oleh paku-paku, yang kadang mudah copot sehingga bangkuku bisa bergoyang ke kiri dan ke kanan. Serunya tidak hanya satu atau dua anak saja yang duduk, kami berlima atau bahkan bertujuh yang duduk dalam satu bangku panjang tersebut dapat bergerak berbareng ke kanan dan ke kiri. Bahkan temanku yang paling usil (dan mulai ada bibit jahil), suka menyisakan tempat kepada kami yang datang terlambat tepat di tempat yang merupakan sambungan bangku yang dapat menjepit (maaf) pantat kami. Wah, kalau kebagian tempat duduk itu, rasanya kayak dicubit dan sakit sekali saat teman-teman kompak menggerakkan bangku ke kiri dan ke kanan. Namun aku paling suka dengan temanku yang baik hati yang selalu mengingatkan temanku yang suka usil itu…dan dia adalah teman pria baik hati pertama yang aku kenal di usiaku 5 tahun! Saat itu kuanggap dia sebagai pria yang paling keren di dunia! Aku ingin menjadi sahabatnya!

Masa SD lebih seru lagi, karena tiga kali aku berpindah sekolah aku punya teman dan sahabat-sahabat yang seru. Seingatku aku sudah mulai suka membaca sejak aku mulai bisa membaca. Dan sekarang aku merasa telah memanfaatkan temanku yang sudah mempunyai banyak koleksi komik dan buku-buku saat itu. Aku bisa berangkat pagi-pagi ke sekolah (padahal seharusnya masukku sekitar jam 10-an), hanya untuk mampir ke rumah temanku tersebut untuk nongkrong dan membaca buku-buku yang dimilikinya (sementara temanku belum mandi dan sibuk mengurusiku). Oh...betapa baik hatinya dia. Sebenarnya nenekku juga memiliki banyak buku cerita (dan membuat Perpustakaan di rumah), dan Ibuku juga sudah berlangganan majalah anak-anak Kuncung dan Bobo sejak Bobo terbit pertama kali di tahun 1972 (1973?), namun tidak seru lagi kalau tidak meminjam, karena buku-buku di rumah nenek maupun majalah sudah habis terbaca semua!.

Demikian juga saat SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Mereka mewarnai kehidupanku. Teman adalah bagian dari hidup ini. Sehingga kita harus selalu menjaga hubungan pertemanan. Suatu hal yang sangat mengharukan saat beberapa waktu yang lalu, seorang teman SD yang hanya satu tahun saja sekelas dan selanjutnya aku harus pindah ke SD yang cukup jauh di Kecamatan yang berbeda (walau satu kota) masih mengingat dan mengenaliku setelah sekian puluh tahun tidak bertemu. Dia ingat akan kebiasaan-kebiasaanku hingga aku dapat mengingat kembali saat-saat sekelas dulu. Dan aku juga ingat dengan dia, walau kami tidak pernah berkomunikasi lagi setelah dia bersama serombongan temanku (rata-rata usia 10 tahunan) untuk terakhir kalinya bersepeda bertandang ke rumahku untuk menyampaikan salam perpisahan….uhuk..uhuk…...aku jadi terharu.

Teman dan sahabat adalah harta benda karunia Allah yang tak ternilai.

(Untuk teman-temanku Dik Iin, Alfiah, Agung, Mutmainah, Aries, Dik Lies, Dik Retno, Endah, Sigid, Pudji, Budi, Prapti, Yatin, Joko, Anjar, Nuriman, Uut, Mimik, Anang, Kirno, dan teman-teman dan sahabatku saat TK (masih ada nggak ya?), SD, SMP, SMA, dan PT).

Bontang, Manik Priandani, 08 Juni 2011

Rabu, 30 Maret 2011

Selasa, 04 Januari 2011

Waktu GMT

Oleh : Manik Priandani
Bontang


Awalnya aku tidak begitu perhatian perihal (pembagian) waktu, terutama yang menyangkut wilayah lain selain WIB, WITA, ataupun WIT di Indonesia. Sebenarnya sudah sempat melihat konversi atau kondisi waktu secara sepintas di google saat aku browshing mencari kode wilayah suatu daerah di suatu negara. Aku baru merasa harus tahu benar perihal ini agar kejadian yang bagiku tidak sopan, dan membuatku tak enak hati ini tidak terulang.

Begini ceritanya...saking semangat dan kangennya dengan sahabat dekatku di SMA, maka aku lupa mengingat secara cermat kondisi waktu di tempat temanku berada nun jauh di sana. Aku pakai metode hantam kromo saja, karena merasa terbiasa bertelpon ria dengan Oom yang berada di wilayah Timur USA. Pamanku bertempat tinggal di Lancaster, Philadelphia, Pennsylvania dan jam 21.00 WITA sama dengan jam 08.00 pagi waktu PA, maka aku nelpon pada jam yang sama ke Seattle.

”Hallo.......Assalamu’alaikum....”, demikian sapa penuh semangat dariku setelah nada dering tersambung. Namun di sana seakan menerima dengan setengah heran mendengar suara telponku. Ada apa ini. Untung nalar segera menuntunku untuk menanyakan, jam berapa sekarang di sana. Jam 04.00 pagi!!!! Duar...maluku bukan main. Aku sampai meminta maaf berulang-ulang ke temanku....buyarlah semangat ngobrol dan kangenan dengan my sohib itu . Dan bagaimana bisa seru wong dia aku bangunin di tengah pagi. Dan setelah aku lihat di internet, matahari baru muncul di Seattle jam 07.58 a.m., artinya di sana biasa bangun untuk sholat Subuh ya sekitar satu jam sebelum itu. Sedangkan matahari baru terbenam di jam 04.48 pagi...wahhh...aku membangunkan tidur temanku dengan sempurna!

Aku merasakan hal yang sama (dibangunin tengah malam) oleh Bapak Ibu saat beliaunya selesai melaksanakan sholat Asar di Masjid Nabawi saat menjalankan Ibadah haji. ”Kriiiinggg.....kriinggg.....”, berulang-ulang, suara dering ini membangunkanku dari lelap tidur dan mimpiku di sekitar jam 01.00 malam. Walau senang, tetapi saat itu sempat kehilangan orientasi dan konsentrasi. Apalagi Ibu menegurku : ”Ada telpon kok nggak diangkat-angkat.....!”. Ho..ho...ho...Aku membayangkan bagaimana perasaan sobatku saat menerima telponku di tengah pagi itu.

Bicara soal perbedaan waktu, sampai sekarang aku masih terheran-heran dengan waktu bagian Nepal yang selisihnya tidak bulat dengan Waktu di Indonesia. Bedanya mereka adalah -2,25 jam terhadap WIB. Lha kok pakai seperempat segala. Semakin penasaran saja aku soal waktu ini!

Omong-omong soal perbedaan waktu di dunia ini juga membuat aku dan dua orang teman hampir tidak bisa balik ke Indonesia. Ini ada hubungannya dengan jadwal perjalanan dinas yang diatur oleh Sekretaris kami yang notabene belum pernah pergi ke belahan bumi yang lain. Artinya, pengaturan tanggal dan waktu berdasarkan waktu dan tanggal di Indonesia. Padahal kami melakukan perjalanan hingga lebih dari separoh bulatan dunia ini. Memang jadi aneh dan sangat kaget, saat kami sampai di Bandara Los Angeles dan dikatakan oleh petugas tiketing Bandara, bahwa kami seharusnya datang kemarin, karena kami pesan pesawat hari kemarin, bukan hari itu. ”Wah, enggak ah....kami merasa hitungan kami tepat. Kami di LA-nya hanya 3 hari!".

Kami bertiga sempat berdebat sendiri, namun akhirnya ketahuan bahwa waktu Jakarta lebih cepat setengah hari ke depan, dan konyolnya kami tidak melihat tanggal di tiket pesawat, hanya melihat jadwal hari dan jam yang telah disiapkan oleh sekretaris. Harusnya kami hanya berada di LA 2 hari saja! Untunglah pegawai Bandara LA sangat baik dan membantu. Kami dibantu dengan ditelponkan ke Maskapai yang terkait, dan dengan gigih Mrs. Cantik namun sudah berusia baya ini memberikan alasan persis seperti yang kami ceritakan. Sampai sekarang saya merasa sangat berhutang budi pada Si Mam yang baik dan ramah itu. Kalau tidak kami menjadi tunawisma di negara orang....Dan salah satu hikmah yang aku dapat adalah bahwa tidak semua orang Amerika seperti yang diberitakan atau dikhawatirkan menyikapi setengah hati kepada perempuan berjilbab sepertiku atau orang Indonesia seperti kami.

Perbedaan waktu selain mengakibatkan jet lag, sering membuatku bingung. Terutama soal menentukan waktu sholat. Contohnya saat terbang dari Bandara Soetta ke Bandara Incheon, Korea Selatan. Kami berangkat di malam hari dari Jakarta (UTC+7), belum apa-apa sudah sampai di atas udara Incheon (UTC+9) dan matahari sudah bersinar terang. Akhirnya saya cepat-cepat sholat Subuh di pesawat...walau ada rasa bersalah karena aku yakin sebenarnya waktu sholat Subuh sudah lewat.

Apalagi bila kita pergi ke negeri yang jauh dengan perbedaan waktu yang mencolok, berpindah-pindah tempat dan hanya sebentar. Wah...badan ini benar-benar terasa remuk redam. Sementara badan terasa lelah, dan mata mengantuk, tetapi matahari bersinar terang dan kesibukan terlihat di depan mata....duh!

Soal perbedaan waktu satu jam saja kadang membuat kenyamanan terganggu, contohnya karena berkantor di Bontang yang termasuk wilayah waktu Indonesia Bagian Tengah, sedangkan kantor pusat kami ada di Jakarta yang masuk ke wilayah Waktu Indonesia Bagian Barat. Pada saat istirahat makan siang, jam 12.00 WITA di Bontang, di Jakarta masih jam 11.00 WIB, pas semangat-semangatnya orang bekerja di sana. Sementara di Bontang juga pas semangat untuk beristirahat makan siang. Akhirnya semangat loyalitas-lah yang maju ke depan saat teman-teman di Jakarta memerlukan data atau bahkan mengajak diskusi untuk menyelesaikan pekerjaan. Demikian juga dengan waktu bubaran kantor; kadang harus siap menunggu hingga semua pekerjaan selesai. Batasan waktu masuk dan pulang untuk era saat ini memang sudah tidak populer. Flexi time-lah yang paling cocok.

Akhirnya aku berusaha untuk tahu dengan mengintip Wikipedia untuk mensiasati diri dan tubuh ini, maupun untuk menghindari kesalahan dan mengetahui waktu yang tepat saat kita ingin bekerja sama atau berkomunikasi dengan teman, kolega, atapun saudara di wilayah berbeda lewat telpon atau ponsel.

Bahwa UTC adalah singkatan dari Coordinated Universal Time atau Waktu Universal Terkoordinasi disebut juga Waktu Zulu yaitu perwujudan dari waktu atom dari Waktu Universal (UT) atau Waktu Greenwich (GMT). Waktu ini menjadi dasar dari waktu sipil. Zona waktu di seluruh dunia ditampilkan sebagai tambahan positif atau negatif dari UT. Beda UTC dari Waktu Atom Internasional adalah sejumlah beberapa detik genap (bukan pecahan), sesuai dengan waktu yang dihitung oleh jam atom. Beda UTC dari UT hanya sepersekian detik.

Waktu Indonesia bagian Barat (WIB) sama dengan UTC+7. Sedangkan Waktu Incheon, Korea Selatan = UTC+9, sedangkan waktu Seattle, Washington, USA adalah UTC-8. Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA) sama dengan UTC+8. Artinya bila di Jakarta jam 7 malam (19.00 WIB), di Bontang jam 8 malam ( 20.00 WITA), di Incheon sudah jam 9 malam (21.00), sedangkan di Seattle, USA waktu menunjukkan jam (12.00 – 08.00) = 04.00 pagi!.

Dan Bumi-pun terus berputar, waktu terus berjalan, dan semuanya menjadi relatif.....karena kita lebih muda setengah hari waktu di New York, dan kembali menjadi tua setelah sampai di Jakarta. Yang absolut hanyalah DIA....Allah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Besar, Yang Maha Menghitung, Yang Maha Mengatur, Yang Maha Mencipta, Yang Maha Tahu, dan Yang Maha Bijaksana.


Bontang, MP, 04 Januari 2011

Selasa, 14 Desember 2010

OLAH RAGA

Oleh : Manik Priandani

Berbicara perihal olah raga, akan menyisakan kesan tersendiri dalam kehidupan keseharianku hingga saat ini. Bila diingat-ingat, sejak aku mulai dapat mengingat, olah raga yang aku kenal adalah senam pagi saat duduk di bangku Taman Kanak-Kanak Pusporini, Puspowarno, Semarang Barat. Guru TK-ku cantik sekali (hingga sekarang), dan beliau adalah teman dekat Ibu, bahkan masih ada hubungan saudara, walau persaudaraan kami dikenal dengan istilah “kadang katut” (Jw. Hubungan saudara karena status pernikahan) . Namun masuk ke TK ini jelas tidak karena kolusi. Di awal tahun 70’an saat itu kolusi dan nepotisme belum popular.

Olah raga yang aku lakukan adalah senam padi di hari Jum'at. Sehingga kami sellau memakai pakaian olah raga setiap hari Jum’at. Instrukturnya ya Bu Guru kami yang cantik itu. Kami mengikuti gerakan Ibu Guru yang diiringi oleh Lagu ( berbahasa Jawa) yang dinyanyikan bersama, tanpa memakai radio, tape, atau kaset…apalagi CD!. Seingatku lagunya adalah sebagai berikut :

Solo…tigo…Semarang…nglewati…Ungaa…ran…
Sopo sing arep melu kudu biso tiru-tiru….
Mengkene solahe…
Mengkono solahe….
Solo…tigo…Semarang…nglewati…Ungaa…ran…

(Artinya :
Salatiga ….Semarang….melewati Ungaran
Siapa yang mau ikut harus mencontoh (gerakan)
Begini gayanya…
Begitu geraknya…
Salatiga ….Semarang….melewati Ungaran)

Rasanya selama TK, pelajaran senam ini yang paling aku sukai. Lagunya bagus, gurunya lincah, dan beliau cantik sekali. Sayang, Bu Guruku selalu menganggapku anak yang suka ngobrol sendiri dan "ndlenger" (Jw. tidak menyimak)!

Nilai olahragaku selalu pas-pas-an. Aku cenderung lamban dalam bergerak, walau badanku cukup bongsor dibandingkan teman-teman seusiaku. Namun aku cuek saja. Pokoknya aku merasa sehat dan mampu jalan kaki dari rumah ke sekolah yang berjarak 3 km pulang pergi.

Karena sekolahku cukup jauh, akhirnya saat aku naik kelas 4 SD, orang tua mempunyai kebijaksanaan untuk memindahkanku ke sekolah dekat rumah. Nah, di sekolah “baru” ini nilai merah pernah bertahta di raport untuk pendidikan ORKES. Maklum, teman-teman saya di sekolah baru ini jagoan berolahraga, terutama olahraga kasti. Mereka jago-jago lari dan badan teman-temanku ini amat liat. Rasanya pelajaran Olahraga di sekolah baruku ini setiap minggunya adalah kasti. Walau aku tidak antipati degan kasti, aku tidak suka olahraga ini. Bagiku sangat “sadis”, “menimpuk” dengan bola sehingga dapat memerahkan atau membirukan kulit, “Njarem”, kata orang Jawa. Selain berstatus anak baru dan terlihat acuh tak acuh dalam berolahraga kasti, cukuplah nilai 5,5 untuk mata pelajaran Olahraga. Seumur hidup baru kali ini mendapat nilai merah!.

Olahraga bukan kegiatan yang menarik bagiku dari kecil. Di usia-usia itu aku lebih suka membaca buku karena memang Nenekku mempunyai koleksi buku dan bacaan banyak sekali. Saking banyaknya, beliau membuka perpustakaan umum bagi masyarakat umum. Karena banyak yang tidak tertarik untuk meminjam, oleh nenekku dipancing dengan cara disewakan, dan koleksi bukunya ditambah dengan komik-komik bergambar. Akhirnya, kegiatanku dari saat dapat membaca adalah main atau nginap di rumah nenek untuk membaca buku baru atau mengulangnya untuk bacaan yang aku suka. Bacaanku dari Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisyhbana hingga komik Jaka Tuak karangan Yan Mintaraga. Akhirnya aku hanya ber-“olahraga” dan berkhayal sebagai pemain silat seperti yang tergambar di komik.

Kegiatan olahraga yang sungguh-sungguh baru aku kenal setelah duduk di bangku SMP. Ada tawaran untuk mengikuti ekstrakulikuler. Dari semua yang ditawarkan, aku lebih tertarik memilih olahraga beladiri, karena aku penasaran melihat kegigihan kakakku mengikuti beladiri Taekwondo. Di SMP-ku hanya ada karate. Iseng-iseng aku mendaftarkan diri. Kalau nanti tidak suka, aku akan keluar. Tidak terasa aku tetap “setia” mengikuti olahraga ini sampai lulus kuliah. Dari seangkatanku tinggal aku dan seorang teman laki-laki yang masih bertahan sampai mendapat kesempatan mengikuti kejuaraan tingkat daerah maupun Nasional. Sempat sebentar mencicipi peran sebagai atlet.

Namun ada yang aku sesali hingga saat ini, rasanya waktu mudaku habis hanya untuk olahraga ini, sehingga aku sama sekali tidak mengenal dan tidak bisa olahraga lain, misalnya : volley, basket, dsb-nya. Paling-paling bisanya lari. Oh iya, menjadi seperti Etsuko Shihomi adalah obsesiku kala itu. Aku ingin bisa meniru gaya menendang gentong-nya yang spektakuler itu.

Di sebelah rumahku juga ada lapangan volley yang sering digunakan oleh tetangga-tetanggaku bermain setiap sore. Ada tetanggaku yang masuk Tim Nas dalam olahraga ini, dan sering berlatih di lapangan sebelah. Adik perempuanku yang berbadan tinggi pernah “dilamar” untuk memperkuat tim volley kampung kami, namun adikku juga hampir sepemalas aku….dia menolak….lebih memilih tidur...zzzz.

Kalau soal sepakbola, adik laki-lakiku sudah maniak sejak kecil. Bahkan sempat latihan di club ternama di kota kami saat dia di bangku SD. Namun karena sesuatu sebab, akhirnya dia malah berbelok arah mengikuti olahraga beladiri yang aku ikuti.

Olahraga memang penting untuk tubuh. Selain untuk menjaga kondisi tubuh, juga melatih untuk bersikap sportif dan jujur. Bapakku adalah atlet badminton sekelas kabupaten di usia mudanya. Menurutku beliau sangat jujur dan pastinya juga sportif. Namun aku tidak tahu juga, apakah kejujuran dan kesportifannya disebabkan oleh kegemaran ber-badminton ria atau karena hal lain ( karena nilai-nilai yang dipegangnya, misalnya ).

Menurutku, setelah sekian puluh tahun, olahraga beladiri tidak “applicable”, terutama untuk perempuan. Berbeda halnya dengan tennis lapangan, badminton, bola basket, volley, bridge, dsb-nya. Pada usia lanjutpun olahraga ini dapat dipraktekkan atau setidak-tidaknya bila ada pertandingan olahraga di kampung atau di Perusahaan. Hal ini terlihat dengan sering terlibatnya suami di beberapa cabang olahraga. Kalau dia memang maniak olahraga sejak muda. Terutama olahraga Bola Basket dan Bola Volley.

Saat ini berlangsung Pekan Olah Raga Provinsi Kaltim IV di Bontang. Yuniorku turut serta memeriahkan pertandingan Bridge Campuran yang diselenggarakan di Cafe Rega, PT LNG Badak, Bontang, mewakili kota Bontang. Walau masih ikut pertama kali dan melakukan persiapan singkat, bertandinglah dengan penuh semangat, tenang, konsentrasi, rileks, dan sportif, anakku!. Mumpung masih muda, mumpung ada kesempatan, mumpung banyak fasilitas yang mendukung.

Aku yakin, dengan olahraga kita menjadi sehat, berprestasi, berwawasan, dan memiliki teman banyak. Hidup olahraga. Mensana incorporesano.

Manik Priandani, Bontang (sedang berlangsung PORPROV IV 2010 di Bontang), 11 - 19 Desember 2010.

Rabu, 28 April 2010

Alhamdulillah...2 tahun akhirnya bertemu lagi...

Kali ini aku hanya mau mengucapkan alhamdulillah...., karena aku sudah menemukan blog-ku (tepatnya bisa membuka blog-ku kembali) yang telah kutinggalkan hampir dua tahun lebih. Pengen aku isi dengan cerita-ceritaku dalam berbagai bentuk. Semuanya cerita.....atau mungkin juga puisi (kalau pas mood).
Sekali lagi...alhamdulillah....

Manik Priandani