Kamis, 03 November 2011

TRANSPORTASI

Oleh : Manik Priandani
Bontang


Semakin maju jaman, semakin modern juga alat transportasi yang dipakai. Betapa konvensionalnya alat transportasi jaman dahulu. Sultan Agung berkuda dari Yogyakarta menuju Batavia (Jayakarta) untuk menaklukkan VOC Belanda. Pangeran Diponegoro, Gajahmada, Hayam Wuruk, Ken Arok, dsb-nya juga berkuda. Beda lagi mas Karebet yang memanfaatkan sungai Bengawan Solo dan naik gethek bahkan konon naik di punggung buaya saat menuju Kerajaan Demak dari desanya di pedalaman Boyolali. Kalau Sultan Mulawarman dari Tenggarong naik perahu kebesaran melewati Sungai Mahakam untuk bertandang ke Kerajan-kerajaan tetangga. Sedangkan anak-anak jaman sekarang menaiki sepeda motor dengan berbagai merk dan kelebihannya. Ada yang kencang sekali hingga pengendaranya merubuhkan pondok-pondok dan memporakporandakan acara pesta kampung dengan rambut di kepala yang ikutan berdiri jabrik atau body-nya yang cantik, secantik pengendaranya...begitu yang terlihat di iklan-iklan TV.

Lain dulu lain sekarang. Semakin tua usia bumi perubahan terus berlangsung. Kendaraan kayu (khayalan)-nya Flinstone sudah berubah menjadi mobil besi. Layang-layang kertasnya Archimedes sudah menjadi burung besi. Namun dari semua peralatan transportasi yang berubah dari jaman ke jaman, jalan kaki adalah suatu alat transportasi paling alamiah sejak jaman purba yang terus dipakai oleh keturunan Pithecanthropus erectus (dan juga termasuk berjalan cepat, berlari, dsb-nya yang merupakan differensial integral dari berjalan). Semua manusia pernah merasakan berjalan kaki. Ada yang bisa berjalan cepat, ada yang jalannya hanya ”thimik-thimik” (jw. pelan sekali), seperti para priyayi, Permaisuri maupun Selir Kaisar China jaman dulu yang berkaki kecil karena diikat dengan sepatu besi.

Kaki adalah alat transportasi utamaku sejak kecil. Di tahun 1970-an aku selalu berjalan kaki pulang pergi ke dan dari sekolah. Entah sekolahku dekat atau jauh (karena selama 6 tahun di SD, aku sudah berpindah sekolah 3 kali). Jalan kaki ini aku nikmati dengan senang hati, karena jalanan saat itu tidak begitu ramai. Di sepanjang jalan Siliwangi, Semarang, masih ditumbuhi pohon asam gedhe-gedhe dan rimbun, dan pohon ini menjadi ciri khas kota Semarang sejak jaman kolonial dulu. Konon dari pohon Asam yang sangat banyak di daerah ini nama kota Semarang berasal. Dari frasa Asam Arang (maksudnya pohon asam-nya jarang-jarang), dan aku sangat percaya bahwa itulah frasa yang tepat untuk nama Semarang, bukan dari frasa kata Eseme Arang-arang (Jw. Tidak suka tersenyum / galak/cemberut terus) yang mempunyai konotasi yang sangat tidak menarik bagi karakter penduduk yang tinggal di Semarang. Jalan kaki saat itu menjadi menarik karena saat lelah, aku bisa duduk sebentar di bawah pohon asam, sambil menunggu asam masak jatuh, atau melihat-lihat adakah asam yang bisa kita ”jatuhkan” dengan cara melemparnya dengan batu. Kalau lemparan tepat, segerombolan asam akan jatuh, dan bisa kita nikmati rasa kecutnya sebagai penawar dahaga.

Selain itu, ada transportasi yang menarik dan sering aku dan Kakakku tumpangi, paling tidak dari jalan raya dekat sekolah sampai jalan raya dekat gang masuk rumah kami; dengan ijin maupun tanpa ijin pengemudinya...yaitu Gerobak Sapi. Menaiki Gerobak Sapi yang sedang berjalan ada tekniknya tersendiri. Aku sempat ragu-ragu dan takut saat pertama kalinya harus naik Gerobak yang ditarik oleh Sapi ini. Kakakku sudah naik di sebelah kanan plang paling belakang Gerobak, sementara aku diminta naik ke plang yang ada di sebelah kiri. Wow...bagaiamna caranya. Akhirnya Kakakku turun lagi dan mengajariku bagaimana cara menaikinya.

Pertama kita pegang plang di belakang Gerobak Sapi, dan harus mengikuti irama berjalannya Sang Gerobak (artinya irama berjalannya Sapi juga), setelah tahu, kita bisa memperkirakan kapan saatnya kita ”meloncat” duduk di plang (berupa kayu yang menonjol di kanan kiri bagian belakang Gerobak) tersebut. Beberapa kali gagal, namun akhirnya berhasil juga. Ada Pak pengemudi Gerobak Sapi (Kusir) yang baik hati ada yang galak. Tetapi sebenarnya semuanya baik hati. Kenapa? Karena Pak Kusir akan berhenti kalau mendengar ada anak pengen mbonceng di belakang Gerobaknya dan bahkan mengajak kami duduk di depan atau masuk ke Gerobak; tetapi ada yang langsung membunyikan cemetinya kalau terlihat gelagat ada anak-anak yang ingin mbonceng di belakang Gerobak sambil berteriak :”Turun..turun...nanti kalau jatuh aku dimarahi Bapak Ibumu...”! Hehehe...Artinya Pak Kusir ini peduli dengan keselamatan kami. Bahkan akhirnya Pak Kusir hapal dengan kami, dan beliau menunggu atau menawari kami untuk ikut naik Gerobak bila kami kebetulan bersamaan arah. Gerobak Sapi I miss you....

Becak juga menjadi alat transportasi utama kala itu di Semarang. Bahkan mungkin sampai tahun 80’an. Becak Semarang punya kekhasan tersendiri. Selain tempat duduknya tinggi (bhs Jawanya : ”methingkring”), ukurannya juga lebih lebar dan luas. Dua orang gemuk bisa duduk di dalam becak ini. Berbeda dengan Becak di kota-kota lain seperti becak Surabaya atau becak kota Malang, hanya cukup untuk seorang Bapak yang tidak begitu gemuk dan satu anak yang kurus. Kalau dua orang dewasa duduk, dijamin salah satu harus mengalah untuk duduk tidak nyaman karena harus duduk maju ke depan.

Kalau bicara soal Becak, aku jadi ingat tertabrak becak saat aku menyeberang di depan Tripayung untuk pulang ke rumah. Mungkin karena siang itu sangat terik,lapar campur ngantuk, aku tidak melihat becak yang berjalan ”ngebut” dari arah kiri bermuatan pedagang dan belanjaannya...dan grobyakk....aku tertabrak...becak terjungkal alias nyungsep bersama belanjaannya. Sementara pengemudi becak dan penumpangnya meloncat ke samping, sedangkan aku tertabrak dan kaget, dan pingsanlah aku. Saat siuman aku sudah ditidurkan di dalam warung, dikerubungi banyak orang, dan diberikan teh hangat untuk membuatku siuman. Aku malu sekali setelah itu.... aku langsung mengucapkan terima kasih ke pemilik warung dan segera lari pulang...selain malu juga takut dimarahi Ibu karena menyeberang tidak hati-hati. (Dan sebenarnya Ibu tahu karena ada keramaian di Pasar (Karang Ayu) saat Ibu berbelanja. Orang-orang membicarakan tertabraknya anak sekolah yang punya ciri-ciri seperti aku : Anak perempuan sekitar kelas 3 SD, pakai seragam putih-putih, dikuncir dua, memakai pita merah jambu...masyaallah itu mungkin anakku!”, begitu kata Ibu).

Bemo-pun alat transportasi yang populer jaman itu. ”Daihatsu” (sebutan untuk semua angkot di Semarang, walau mungkin merk-nya Toyota, Yamaha, Suzuki, dsb-nya) belum populer. Setelah Daihatsu semakin marak, Bemo-pun pelan-pelan hilang di jalanan Semarang. Kemudian masuk era biskota. Baik biskota biasa maupun biskota tingkat. Biskota milik PO DAMRI ini buatan India asli yang ber-merk TATA. (Merk ini sudah tidak populer di Indonesia, namun sangat populer di jalanan Nepal...hingga terasa bernostalgia saat melihat bentuk biskota (dan juga bemo) di jalanan Kathmandu dan sekitarnya). Biskota dan biskota tingkat adalah alat transportasi yang nyaman, yang melewati sekolah SMP maupun SMA-ku di Jalan Pemuda kala itu. Jadi hanya menunggu duduk di pagar luar sekolah, biskota akan lewat, dan kami bebas memilih...mau naik sekarang atau nunggu kosong asal siap untuk kesiangan atau kesorean sampai di rumah. Bahkan sampai aku mahasiswa, Biskota ini masih membantuku untuk mencapai kampus. Betapa berperannya biskota pada keberhasilanku menyelesaikan sekolah.

Alat transportasi yang lain adalah Kereta Api. Yang aku ingat dengan Kereta Api : kursinya yang terbuat dari rotan, jendela buram serta tempat minuman yang menempel di dinding di bawah jendela. Penjual-penjual nasi, telur, dan belibis goreng berseliweran bila KA berhenti di suatu stasiun. Maklum aku lebih sering naik KA seperti ini, walau di era tahun 2000-an, saat aku mengambil pasca sarjana di suatu institut negeri di Bandung, tampilan KA terlihat agak lebih baik. Setidak-tidaknya hampir dua minggu sekali aku dan gadis kecilku bolak-balik Bandung-Jakarta naik KA Parahyangan, untuk liburan Sabtu-Minggu. Yang paling seru kalau menjelang hari Raya, pasti Kereta Api ini penuh. Untuk mendapatkan tempat duduk, aku pernah minta bantuan calo untuk mencarikan kursi untuk kami. Caranya : Anakku dibopong dan digendong si Calo, dimasukkan ke kereta lewat jendela, dan ditangkap oleh calo yang sudah siap di dalam kereta, di tempat duduk yang akan aku duduki! Itulah wajah KA di tahun 2000. Sampai saat ini rasanya masalah KA masih seru saja.

Setelah bekerja, alat transportasi yang menghubungkan aku dengan tanah kelahiranku lebih beragam. Istilahnya bisa masuk katagori angkatan darat, angkatan laut, atau angkatan udara. Via darat, berarti harus naik kendaraan bus atau mobil, kemudian menaikkan bus atau mobil beserta isinya di atas kapal; via laut, berarti naik kendaraan juga, kemudian naik kapal, kemudian turun di Pelabuhan Semarang atau Surabaya, baru naik kendaraan lagi; atau naik pesawat terbang. Hingga saat ini karena berbagai kondisi yang aku hadapi, terpaksanya aku harus ikhlas untuk selalu via udara (dibantu lewat darat bila pesawat udara dari tempatku ke Balikpapan sudah penuh atau sebab lain). Sekali saja aku naik kapal saat ada dinas yang mengharuskanku menaiki kapal sampai di Gresik. Maklum, tugas dinasku saat itu adalah memonitor system refrigerasi penyimpanan Amoniak di kapal. Memonitor kondisi refrigerant, sambil terhuyung-huyung mabuk laut. Walau sempat mencoba menyetir kapal hingga arah kapal agak melenceng dan juga naik ke puncak tertinggi kapal. Pengalaman naik kapal ini , sampai sekarang belum juga terulang kembali.

Trend pun berputar, seperti berputarnya bumi. Sepeda mulai digandrungi di negeri ini. Orang menjadi merasa ketinggalan dan tidak up to date saat tidak bisa mengatakan aku punya sepeda dan aku kini bersepeda. Bahkan sampai ke jenis sepeda, bentuk, dan aksesorisnya menjadi gengsi tersendiri (belum atribut-atribut yang lainnya : helm, kaos, sepatu, etc). Jauh berbeda dengan saat aku menjadi mahasiswa (tahun 80’an) maupun saat aku sudah bekerja (tahun 90’an); bersepeda belum populer. Aku sempat bersepeda di semester I untuk menuju kampusku yang cukup jauh di Mataram. Karena letak kampusnya yang agak sulit dijangkau biskota, ataupun Daihatsu yang harus berganti-ganti, akhirnya kuputuskan naik sepeda. Aku merasa nyaman bersepeda, selain untuk berhemat juga berolahraga, apalagi aku familiar dengan daerah ini karena lokasi latihan olahragaku tidak jauh dari kampusku ini. Aku tahu jalan pintasnya, sehingga cepat sampai di kampus atau sebaliknya. Kemudian karena kampusku berpindah-pindah dan aku memerlukan mobilitas yang cepat, dan saving energy agar pada saat kuliah tidak kelelahan, dan juga kadang aku pengen pakai rok cantik layaknya perempuan (nggak lucu kalau bersepeda), maka sepeda aku tinggalkan. Hebatnya sekarang sepeda masuk kampus (saat itu tak terbayangkan).

Aku bertemu sepeda lagi setelah aku bekerja di tempat kerjaku sekarang. Pada waktu itu aku tidak punya sepeda motor, apalagi mobil, yang aku punyai adalah sepeda. Aku bersepeda ke mana saja yang memungkinkan aku jangkau. Ke Wartel, ke Pasar, maupun sekedar jalan-jalan eh sepeda-sepeda-an. Aku jadi kangen bersepeda lagi. Sebenarnya bersepeda bukan barang baru. Di negeri maju (Swedia, Denmark, Belanda, etc) bersepeda sudah menjadi kebanggaan dan kebiasaan dari segala kalangan lapisan hingga para eksekutif sejak puluhan tahun lalu.

Begitulah hidup. Hidup terus berputar seiring berputarnya bumi. Dan hal-hal alamiah akan semakin kita hargai. Pemakaian bahan bakar yang berlebih dan membuat polusi bumi yang kita tempati ini semakin menjadi prioritas utama untuk kita hindari.

Kembali ke alam adalah hal mulia dan bukan hal yang memalukan. Modern tidaklah diukur dengan materi semata. Modern adalah berpikiran maju ke depan dan peduli dengan lingkungan sekitar. Peka akan segala hal yang tidak pada tempatnya. Yuk kita peduli dengan lingkungan dan kehidupan kita, antara lain membiasakan berjalan kaki dan bersepeda, alat transportasi yang tak lekang oleh waktu dengan memanfaatkan energi dalam tubuh untuk bergerak; walaupun saatnya nanti memasuki era jet yang terbang ke bulan atau ke Pluto sekalipun. Bisakah?

Bontang, MP, 03 November 2011

Selasa, 01 November 2011

PIKNIK

Oleh : Manik Priandani
Bontang


Piknik adalah salah satu kegiatan jalan-jalan dan menikmati liburan. Tidak harus berbiaya mahal, bagiku yang penting dapat melihat-lihat suasana baru atau melakukan petualangan kecil. Piknik seakan sudah menjadi kewajiban di saat liburan, baik itu liburan sekolah, liburan hari Raya ataupun liburan hari Minggu.

Aku tak tahu, berawal dari mana kesenangan piknik ini berasal. Asal kata piknik dan realisasi yang kami lakukan sangat berbeda dengan asal mula kata picnic itu sendiri. Piknik berasal dari kata bahasa Inggris yang mempunyai arti dan nilai yang sungguh kejam dan kasar yaitu dari frasa "pick a nigger" yang amat sangat rasialis. Menggambarkan habit bersenang-senang manusia kulit putih dengan menyiksa budak belian mereka. Tetapi kemudian makin lama maknanya akan melebur sehingga melembutkannya dan menjadi istilah yang bisa diserap dengan santai (aku adop dari tulisan Helman Taofani’s dalam blog-nya End of Sanity) sebagai kegiatan melepas lelah , bergembira dan berlibur. Piknik juga aku pakai karena istilah ini familiar baik pada saat ini dan jaman Mbah-Mbah kita dulu..

Kapan kami (baca : saya) mulai suka piknik? Mungkin sejak bayi atau bawaan sejak bayi, turunan kata sebagian orang, atau terkondisi bersaudara banyak, maka jalan bersama-sama menjadi kesenangan atau hiburan tersendiri untuk mencari suasana lain dari kehiruk pikukan di rumah (sehingga aku tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya menjadi anak tunggal seperti anakku saat ini) ke suasana / lingkungan yang lebih terbuka. Kesenangan piknik juga didorong oleh Tante dan Oom-ku yang selalu menjemput dan mengajak kami jalan dan melihat tempat-tempat wisata di saat kami liburan sekolah.

Kesenangan ”jalan” menjadikan kami (Aku, Kakak, dan Adik-adikku) lebih kuat dalam menghadapi kondisi apapun. Dalam kondisi suka maupun duka. Hal ini terasa pada saat Aku dan Kakakku ”hilang” alias salah arah, saat ingin pulang ke rumah. Waktu itu kami masih duduk di kelas 2 dan 4 SD dan sehabis menonton pameran di suatu tempat bersama guru dan teman-teman sekolahku; kami punya ide untuk pulang sendiri (aku bertemu Kakakku di pameran tersebut), dan akan mampir ke rumah Nenek untuk membaca komik koleksi Nenekku, baru kemudian pulang ke rumah. Kami perkirakan menyusuri rel akan lebih cepat sampai ke rumah Nenek. Seharusnya rumah Nenekku ke arah Barat, sedangkan kami berjalan menjauh ke arah Timur. Kebingungan ini disebabkan letak rel melintang di belakang tempat pameran. Kami nikmati ”jalan-jalan” kami ini hingga sore hari. Aku sempat bingung kok nggak sampai-sampai. Akhirnya kami-pun tahu bahwa kami ”kesasar”.

Selama di perjalanan itu, kami sempat ngumpet di selokan sewaktu kami ketahuan akan mengambil kelapa (karena kehausan) yang diikat di kereta barang, yang akhirnya tidak kami dapat karena keburu ketahuan...dan alhamdulillahnya kami terhindar dari tindakan mencuri. Hingga akhirnya kaki kami sampai di belakang Gedung yang sangat kami kenal(karena sering mengantar Ibu ke Pasar nJohar)...yaitu Gereja Blenduk. Akhirnya, dari titik itulah kami balik kembali ke arah rumah kami yang letaknya di Semarang Barat (arah Bandara Ahmad Yani). Kami menikmati tragedi "kesasar" dan salah arah ini dengan santai (dan Kakakku sudah bilang ke aku, bahwa kondisi kita baik-baik saja dan nanti pasti sampai ke rumah juga), walau terpikir juga olehku, pasti Ibu kebingungan karena kami belum juga sampai rumah hingga Maghrib , padahal kami berpamitan untuk ke sekolah dan melihat pameran bersama Bapak dan Ibu Guru.

Dan benar saja, Ibu sudah melapor ke RRI Semarang, dan pihak RRI berencana mengumumkan berita kehilangan anak pada jam 19.00 WIB nanti. Kami malah menikmati ”piknik” kami dengan masuk ke galery lukis yang ada di dekat Hotel Dibyapuri dan juga galery-galery seni di sepanjang jalan Pemuda (dan Kakakku girang sekali), karena dari kecil, Mas-ku ini suka sekali menggambar, melukis dan melihat lukisan. Walau kemudian dia tidak berprofesi menjadi Pelukis, namun nyerempet-nyerempet dengan hobby-nya itu...menjadi Arsitek. Aku ingat saat harus duduk bengong kelelahan di bangku yang terbuat dari potongan kayu di sebelah pintu masuk galery, sambil melihat Kakakku yang menikmati lukisan-lukisan yang ditempel di dinding. Sementara penjaga pameran / galery dengan ramah meladeni Kakakku, karena melihat anak kecil yang antusias dengan lukisan.

Piknik yang kami sukai adalah berjalan-jalan ke arah Gunung atau Bukit. Mungkin ini menariknya punya Kakak Laki-laki. Hari libur pasti ada saja kegiatan yang direncanakan oleh Kakakku. Dia suka memancing atau mencari ikan di kolam, sungai, atau semua tempat yang berair, namun karena aku anak perempuan; maka bagi Mas-ku, petualangan ini tidak cocok untukku; adiknya yang perempuan. Akhirnya aku diajak ke bukit-bukit dekat rumah, walau bukit tersebut sebagian besar adalah lokasi pemakaman, namun kami bisa main ke sana, membawa minum dan makanan, sembari mencari jangkrik yang ngumpet di bawah cungkup makam. Ahaiii.....

Piknik ke bukit di sekitar rumah memang menjadi kegiatan yang menyenangkan. Apalagi setelah kami pindah ke ”luar kota”, karena di sanalah rumah sah kami berada. Maksud rumah sah di sini adalah rumah yang benar-benar Bapak beli dan menjadi hak milik, bukan hanya meng-kontrak dan kemudian berpindah-pindah lagi. Kebetulan lokasi rumah kami di kelilingi oleh bukit-bukit kecil yang terlihat sangat indah dari rumah. Rumah kami berada di tengah-tengah padang ilalang (jadi ingat film ”Little House in The Prairie”-nya Laura Ingalls) dan dengan jumlah tetangga yang bisa dihitung dengan jari. Dengan pindah rumah ini kami sangat senang...selain punya rumah sendiri, ada obyek untuk kami ”piknik”-i.

Pagi-pagi kami sudah menyiapkan rebusan ketela, singkong, pisang, dan telur. Juga menyiapkan air putih dan air teh di ”gembos” (tempat minum anak sekolah). Setelah sholat Subuh, kami berlima (adikku yang nomor enam masih belum lahir, masih di perut Ibu yang saat itu sedang hamil besar) berjalan menuju ke bukit. Bukit ini biasa disebut Gunung ’nDobling”. Di bawah bukit ini terdapat ranch kuda milik Pak Presiden Soeharto. Konon Tommy Soeharto kadang mampir ke ranch ini. Kuda-kuda dan kandangnya terlihat kecil dari rumahku. Kami berjalan dengan semangat pantang menyerah. Alhamdulillahnya, kami punya saudara yang sangat baik dan setia kepada Nenekku maupun kedua ortu-ku, sehingga dia-lah yang mengantar kami bila kami jalan-jalan, dan juga pada saat naik ke Gunung nDobling ini. Saat itu aku kelas 5 atau 6 SD, sementara adik-adikku masih TK dan SD.

Kami mendaki terus dan melewati ilalang yang cukup tinggi. Semakin tinggi kami naik, semakin semilir angin berhembus. Rasanya senang sekali, melihat rumah kami terlihat semakin kecil. Kami berteriak-teriak memanggil Ibu yang sedang menyapu di teras. Bagaimana mungkin Ibu kami mendengar. Tetapi Ibu tahu kalau kami sudah naik ke Bukit, dan Ibu-pun melambai-lambaikan tangannya. Senang sekali rasanya. Setengah jam akhirnya kami sampai di Puncak (karena adikku masih kecil-kecil sehingga langkahnya tidak terlalu cepat). Di atas terdapat patung angsa, yang sebelumnya kami tidak tahu bahwa ada patung Angsa di atas bukit. Ranch kuda terlihat melingkari bukit.

Kuda-kuda pacu berlarian dan merumput dan terlihat pegawai penjaga kuda. Ranch tersebut dikelilingi oleh pagar kayu. Kami melepas lelah sambil duduk di cekungan batu di atas, dan menikmati bekal kami ; ketela, singkong, telur dan pisang rebus; dan meminum air yang kami bawa. Andai kami punya tustel atau kamera digital, pasti sudah kami abadikan moment ini. Setelah puas menikmati pemandangan kota Semarang dari atas bukit nDobling, turunlah kami kembali ke rumah. Adikku sempat nyungsep di pinggir pagar ranch, karena terlalu kencang berjalan. Untuk tidak apa-apa.

Petualangan selanjutnya adalah menaiki Bukit yang terletak di dekat Pasar nJrakah, Tugu, Semarang. Aku benar-benar penasaran untuk naik ke sana. Kuajak dua adikku yang perempuan, karena Kakakku sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Dengan cara mencari tahu jalan ke sana ke teman yang rumahnya di sekitaran itu, akhirnya beberapa minggu setelah menaiki Gunung nDobling, kami naik ke Bukit tersebut. Dengan berbekal makanan yang hampir mirip. Rasanya puas sekali bisa naik dan duduk di atas bukit.

Dolan dan piknik selalu ingin aku lakukan. Bila ada waktu luang dan ada keinginan jalan, pasti aku ajak dua adikku perempuanku, walau aku sudah mahasiswa sekalipun. Aku ingat, aku ajak kedua adikku untuk menikmati perjalanan naik bus kota dari ”pojok” ke ”pojok”. Dengan biaya relatif murah (memanfaatkan karcis bus kota untuk pelajar), kami menikmati perjalanan kami dari rumah hingga ke Mangkang (PP). Di Mangkang ini kami sekalian bersilaturahmi ke rumah teman. Dan di teman ini kami disuguhin minuman dan dipersilahkan untuk mengunduh buah kedondong. Selain menjalin silaturahmi,disuguhin, dan balik dapat membawa oleh-oleh kedondong! Piknik (dengan biaya murah meriah) selalu aku usahakan untuk dapat aku lakukan; bahkan saat KKL, Kerja Praktek, KKN, dsb-nya.

Ayo kita ber-piknik. Lihat daerah baru, lihat suasana baru, lihat kehidupan yang berbeda, bersilaturahmi, menambah wawasan, menambah teman, menyegarkan pikiran, dan sekaligus membaca alam, bumi, dan manusia!

Bontang, MP, 01 November 2011