Minggu, 13 Januari 2008

HARGA SEBUAH IDE

Aku langsung duduk di tempat duduk yang kosong bersebelahan dengan seorang Bapak berusia 50 tahunan, ketika bus Indonesia melaju menuju Semarang dari Gresik. Kulihat Gresik begitu panas dan berdebu, karena saat itu menginjak jam 14.00 WIB. Setelah bubaran pabrik Petrokimia Gresik sekitar jam 13.00 WIB (kala itu hari Sabtu, dan belum ada kebijakan libur pada hari Sabtu), aku langsung menuju ke terminal Kebomas untuk pulang ke Semarang. Namanya kangen keluarga. Waktu itu statusku adalah mahasiswa kerja praktek di Petrogres yang sudah menjalani Kerja Praktek selama 2 (dua) minggu.

Kiranya Bapak yang duduk di sebelahku cukup ramah. Beliau menyapaku dan melemparkan berbagai pertanyaan yang meliputi what, where, how, when, which, etc. Semuanya aku jawab dengan ramah dan sopan (tentunya). Akhirnya giliran beliau bercerita. Konon, Bapak tersebut adalah mantan mahasiswa suatu perguruan tinggi teknik tersohor yang letaknya di ibukota Jawa Barat dan mengambil jurusan seperti jurusan yang aku ambil. Beliau tidak jadi lulus, karena saat itu sempat terjadi kerusuhan mahasiswa sehingga jalannya perkuliahan dihentikan selama hitungan bulan. Selama itu beliau balik ke kampung, namun sayangnya ketika perkuliahan dinyatakan dimulai lagi Bapak tersebut terlanjur sudah tidak punya apa-apa untuk biaya kuliah.

Beberapa tahun kemudian beliau bertemu kembali dengan teman kuliahnya yang mengajak membuka usaha minuman limun. Konon, kemudian beliau mengusulkan untuk menjual suatu minuman yang umum disukai oleh masyarakat, berasa manis, beraroma, tanpa bahan pengawet, tanpa bahan kimia, yang biasanya dijual di terminal-terminal bus ataupun stasiun kereta api dalam kemasan plastik, namun kali ini kemasannya dibuat beda dan mudah dipegang, tinggal disedot saja. Temannya tidak yakin dengan ide tersebut, namun beliau meyakinkan bahwa bila ide tersebut adalah ide baru dan saat itu belum terpikir oleh orang lain. Setelah itu mereka berpisah dan tidak bertemu cukup lama.
Tak disangka tak dinyana, beberapa bulan kemudian di pasaran dan iklan-iklan muncullah produk minuman dengan kemasan seperti yang diusulkan oleh si Bapak, dan konon produsennya adalah teman Bapak tersebut dan menjadi booomm......!. Dan sampai saat ini, temannya sama sekali tidak pernah menghubunginya dan menyampaikan terima kasih.

Walau ada perasaan setengah tidak yakin (berarti setengahnya percaya) dengan cerita tersebut, aku sempat terbengong-bengong mendengar cerita si Bapak, yang sehabis bercerita Bapak tersebut tercenung melihat ke luar jendela yang terlihat sangat terik sementara bau ikan asin dan bau amis yang di bawa angin dari laut di sepanjang pesisir pantai utara jawa yang membiru itu tercium demikian khas.

Aku lihat profil Bapak itu sangatlah sederhana seperti aku, Bapakku ataupun tetangga-tetangga kampungku : berbaju putih sederhana, bersandal kulit imitasi, namun berbicara penuh semangat pada saat bercerita tentang masa mudanya dahulu. Aku juga ikut terdiam, aku tidak mampu lagi bertanya di mana kerjanya saat ini?, mengapa waktu itu dia tidak menemui temannya? , mengapa..., mengapa.... yang lainnya. Kala itu aku sempat menanyakan siapa nama beliau, namun pertanyaan yang lain tidak juga terucap olehku hingga Bapak itu turun di sebuah desa sebelum memasuki kota Kudus. Sayang, sekarang aku telah lupa siapa namanya..., yang teringat olehku hanyalah cerita pilunya (sekali lagi bila cerita itu memang benar) dan hal ini sangat membekas di hatiku.

Ide sangatlah mahal. Begitu kata pak Deddy (dari PT Pupuk Kujang) instruktur QCC (Quality Control Circle) untuk Traineer yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu tentang sebuah ide. Sehingga adanya SS, GKM, TQM, atau yang lainnya adalah suatu cara untuk menghargai suatu ide.
Suatu ide baru akan dipercayai bila terdapat bukti yang akurat, antara lain berupa tulisan atau hasil karya, dan hal ini sudah berlaku di negera maju sejak beberapa abad lalu (dan saat itu di sana juga belum disebut negara maju). Beethoven, Michael Angelo, Newton, Einstain, H.C. Andersen, etc. Mereka menulis teori, pendapat, maupun hasil karyanya. Karya mereka abadi, karena pada awalnya ada yang mengakui dan menghargai karya tersebut dan mendokumentasikan dan mempublikasikannya. Berbesar hati dengan hasil karya orang lain, sportif, dan menjadikan menulis sebagai budaya, adalah salah tiga dari sekian langkah untuk menghargai karya itu sendiri. Aku tak tahu apakah budaya menulis dan menghargai hasil karya orang lain tersebut sudah juga menjadi budaya Bangsa Indonesia?

Penemu coklat, penemu keju, penemu susu fullcream, penemu klip kertas, penemu peniti, penemu teknik mengetik sepuluh jari, pengarang dongeng Putri Salju dan The Little Mermaid diketahui. Namun apakah kita tahu siapa penemu tempe, tahu, oncom, tape singkong, bambu runcing, landscape sawah terascering (tatanan sawah berundak-undak), pengarang dongeng Si Kancil Pencuri Mentimun tokoh cerdik tetapi agak tengil itu?

Ibu Kartini dikenal setelah Mr. dan Mrs. Abendanon mengumpulkan surat-surat, membukukan, dan mempublikasikan wanita hebat dari Jepara ini ke dunia luar. Sebaliknya apa yang terjadi bila surat-surat Kartini tersebut tidak dikumpulkan dan tidak diceriterakan kembali oleh Bapak Ibu Abendanon ini? Mungkin aku tidak akan mengenal Kartini!

Pengakuan secara massal suatu hasil karya bukan mutlak suatu kesalahan karena saat itu budaya menulis tidak umum. Nyatanya pada masa silam, Mpu Tantular karena meninggalkan karya dalam bentuk tulisan muncullah kalimat Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara Indonesia, sehingga beliau dikenal oleh bangsa Indonesia mulai anak-anak SD sampai professor sebagai penulis Kitab Sutasoma tersebut. Dan saat ini karena budaya tulis sudah umum, mestinya semangat untuk menghargai hasil karya orang lain sudah mendarah daging, sehingga hasil karya ataupun ide tidak selalu dianggap bersifat massal.

Belajar menghargai karya orang lain adalah salah satu langkah untuk menjadikan diri sendiri menjadi sosok yang jujur dan sportif. Kumpulan dari orang-orang yang sportif dan jujur akan menghasilkan suatu golongan orang yang sportif dan jujur. Kumpulan dari golongan-golongan yang sportif dan jujur menjadi suatu bangsa yang sportif dan jujur. Bangsa yang berisi orang-orang yang sportif dan jujur akan menjadi bangsa yang kuat dan maju. Jelas aksi korupsi, pencurian ide, skripsi, kaset dan VCD bajakan, demo ketidakpuasan dan ketidakadilan akan berkurang sesuai deret ukur. Pemberian reward adalah salah satu bentuk dari penghargaan terhadap ide (sedangkan punishment berada di sisi yang lainnya). Mencantumkan nama personal yang terlibat dalam tahapan evaluasi di dalam surat keluar, adalah salah satu bentuk penghargaan juga.

Banyak ide-ide yang muncul di lingkungan kita. Walaupun setelah muncul ide tersebut mungkin sebagian dari kita (termasuk aku) mengatakan : ” Wah kalau itu sih ide sederhana, aku/gue/awak/beta/saya juga bisa membuatnya!”. Namun ingat, ide ya tetap ide. Orang pertama yang mengungkapkannyalah orang yang disebut pencetus ide dan dialah yang mestinya diakui sebagai pembuat ide, apalagi bila diperkuat oleh tulisan. Tidaklah etis bila kita mengakui ide seseorang itu menjadi ide kita, padahal kita mengetahui siapa pencetus ide itu sebenarnya.

Ingatkah kita akan ide penanaman pohon untuk menggantikan kayu yang terpakai sebagai pallet (penyangga) kantong produk Melamine (hampir sama dengan pallet kayu untuk urea kantong di PKT) oleh Sri Mukartiningsih, Pemanfaatan Steam yang terbuang di Condensate Stripper K-2 oleh Nugroho Sulistyo Cs., dan Ide Pemanfaatan kembali limbah Condensate yang terkandung dalam Natural Gas? Hal tersebut adalah contoh dari salah sekian ide-ide yang muncul dari pemikiran individual ataupun kelompok dari karyawan PKT.

Semakin dihargainya suatu ide, akan memicu setiap karyawan untuk berlomba menyampaikan ide yang bermanfaat bagi Perusahaan dalam upaya meningkatkan aktualisasi diri. Seseorang yang sudah tidak mempunyai motivasi akan mempunyai kecenderungan apatis dalam segala hal. Hanya waktu-waktu tertentu yang membuat semangat tersebut muncul karena di saat itulah yang bersangkutan merasa mampu dan dihargai, misalnya pada saat ada perlombaan tujuhbelasagustusan, pertandingan olah raga, dsb-nya. Sehabis itu semangat bekerja tenggelam kembali, karena kerja terasa hanya menjadi gaya tekan ke bawah, bukan menjadi gaya dorong ke samping untuk maju disebabkan hilangnya suatu gaya lain sebagai penguat gaya dorong.

Maka sikap saling menghargai (termasuk menghargai hasil karya) tercantum dalam kitab suci dan selalu diucapkan oleh orang-orang bijak.

Hingga aku terkenang akan rasa pahit yang timbul di hari yang sangat terik dan berdebu dalam perjalanan naik Bus antara Gresik dan Semarang sekitar 16 - 17 tahun silam ketika seorang Bapak bercerita tentang sepenggal kehidupannya...........

Pahit karena tidak adanya sikap tulus untuk menghargai (ide) orang lain dan tidak adanya budaya menulis atau mencatat itu..........


Dhanny (Manik Priandani), 10 Oktober 2005 ( dimuat di Media PKT di tahun yang sama)

Tidak ada komentar: